Wednesday, May 27, 2009

Tentang Ketika, yang Baru Dapat Kuartikan Kini

Kini aku meletakkan kamu di batas antara cinta dan benciku. Tipis, setipis mereka bilang. Tipis, semungil tubuhmu, R.


Aku mencintaimu dengan tidak kuanalogikan. Bukan seperti puisi chairil, gibran, dan maestro-maestro iblis sastra itu. Aku pernah mencintaimu apa adanya. Tidak harus kuanalogikan, dan memang tak bisa kuanalogikan seandainya pun kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Dan kita tak pernah membahasnya. Cukuplah kita saling tahu, bahwa kita saling mencinta.


Dan lalu aku membencimu. Untuk keputusanmu mengakhiri kita. Untuk keputusanmu menghentikan komunikasi kita. Untuk keputusasaanmu mengerti aku. Dan untuk sejuta alasan lain kalau kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Kamu hanya mengakhirinya, dan membuatku semakin mengumpulkan jutaan alasan lainnya untuk membencimu.


Untuk menghapus nomormu dari daftar nomor teleponku. Untuk menghapus lagu-lagu kesukaanmu dari daftar lagu yang kuputar tiap harinya. Untuk melupakan kalimat-kalimat kesukaanmu. Tapi nomormu terus kuingat meski tak pernah kuingat-ingat. Lagu-lagumu tak pernah bisa kuhapus dari playlistku, karena lagu-lagu itu juga lagu kesukaanku. Dan kalimat-kalimatmu itu terus menggema di telingaku. Dan itu semakin membuatku membencimu, R.


Waktu selalu memberikan kedinamisan. Dari sangat mencinta, sangat membenci, di antara keduanya dan menjadi batas antara benci dan cinta itu sendiri, dan mungkin suatu saat nanti menjadi tidak peduli sama sekali. Hilang dari diagram kartesius perasaanku. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bisa saja berbulan-bulan lagi lamanya. Ketika di tempat itu, tempat batas antara benci dan cintaku itu diisi oleh orang lain. Seorang, dua orang, tiga orang, atau beberapa orang mungkin nantinya, dengan alur dan plot yang sama berulang kali sampai nanti kutemukan orang yang tepat. Atau, mungkin orang yang tepat itu juga akan kembali padamu. Aku tak pernah tahu. Biarlah waktu yang nanti memberi hasilnya.


Aku tidak akan berusaha mencintaimu lagi, membencimu lebih dalam, atau melupakanmu. Biar saja semua berlalu sealami mungkin.


Aku bahkan tak ingat lagi kapan pastinya kita memutuskan untuk mengakhirinya. Suatu hari di bulan mei yang penuh kemungkinan ini pastinya…Dan tempat yang menjadi batas cinta dan benciku kini sudah berganti, R. Kamu telah tahu itu. Dan kamu mendukungnya. Dan itu membuatku semakin tak mengerti dirimu…

Wednesday, May 13, 2009

Menghujat

Kita hidup dalam paradoks yang selalu dibesar-besarkan secara hiperbolis oleh penyair-penyair laknat itu. Dalam kumparan labirin metafora. Dan para iblis-iblis sastra itu tentu lebih memilih memersonifikasikan hidupnya daripada menjalaninya dalam nyata.

Menipu pikiran dengan alegori-alegori yang tak pernah kita mengerti. Bukankah rencana yang baik itu selalu menyiapkan rencana dalam rencana bukan?

Tukang-tukang sihir dengan kalimat-kalimatnya yang sepertinya tak pernah habis itu pun selalu sok kuasa. Mentang-mentang mereka bisa -kalau boleh sedikit bersarkasme- meminjam sifat Tuhan barang sekejap di sekelumit cerita-ceritanya. Menipu pembaca dengan semua omong kosong sinismenya, dan baru memberi penjelasan denotatif di akhir kisahnya.

*Atau Tuhan juga memang sebenarnya seperti itu?*

Tidakkah yang benar itu harus kita inderakan?
Toh indera yang kita miliki tak selalu benar, bukan?

Or should I change my subject?

*Benarkah ada kebenaran yang benar-benar memang benar?*

Tuesday, May 5, 2009

Lampu Merah Imajiner

Di jalan lurus yang sepi, kau membuat lampu merah imajinermu.
Kau berjalan sendiri di jalan lurus, dengan vespa antik buatan negeri pizza itu.
Memandangi lembah dan bukit di ujung horison samping kiri dan kanan jalanmu.
Begitu nyamannya menikmati jalan, sampai-sampai kau takut perjalananmu itu selesai terlalu cepat.
Lalu kau membangun lampu merahmu sendiri.
Tepat di sisi kiri jalan ini, di lima meter selanjutnya, dan beberapa kali lagi.

Kau sendiri yang mengatur nyala lampu merahnya.
Sampai di lima meter terakhir, di lampu merah terakhir.
Kau tahu, ini lampu merah imajiner terakhirmu.
Kau pun berhenti.
Memandangi remot lampu imajinermu.
Jarimu terhenti tepat di atas tombol lampu hijau.

Menggantung.

Di satu sisi, kau ingin cepat sampai di tempat tujuanmu.
Di sisi lain koin pikiranmu, kau takut ketika sampai nanti, tak seindah yang kau bayangkan di perjalananmu.
Kau takut ambisimu tercapai, hanya karena takut hidupmu terhenti begitu ambisimu itu kau raih.
Kau takut, gairah hidupmu tak kan semenarik ketika kau berusaha mengejar tujuanmu..

Semua orang bebas bersikap.
Dan adalah hal yang tak pantas kalau kita hanya membenarkan sikap kita sendiri.
Kau mungkin benar, berhenti di langkah-langkah terakhirmu hanya karena tak ingin sensasinya hilang, atau mungkin takut karena rumah yang kau tuju itu sebenarnya memang sedang menunggu, tapi bukan dirimu.
Kau mungkin salah, karena hal yang kau tuju itu mungkin juga sedang menantimu melepaskan sendal jepit kesayanganmu itu, menjejakkan kakimu yang bau apek dengan segudang kapalnya di lantai berandanya.

Kini tinggal memutuskan ketakutanmu.
Takut yang mana yang akan lebih membunuhmu?
Toh, pilihan manapun akan membunuhmu.
Cepat maupun perlahan.
Dengan segala bentuk varian pilihan Si Pembuat Hidup itu sendiri.
Atau kau masih akan berkeras hati?
Berhenti di lampu merah imajinermu itu?

Terkadang kita membuat halangan untuk sikap kita sendiri.
Demi ketakutan kita akan keberhasilan.
Jadi, ketakutan mana yang akan lebih membunuhmu kawan, ketakutan akan kegagalan, atau ketakutan akan keberhasilan?

*Sampai sekarang Genta lebih memilih ketakutan akan keberhasilan, dan terus membangun lampu merah imajinernya.