Thursday, November 11, 2010

Agar-agar

Terkadang seseorang hanya menginginkan agar-agar.
Bukan ice cream yg mewah, bukan cake yang selangit rasanya.
Bukan itu semua, cuma agar-agar....

# dan setelah semuanya berlalu, aku masih tetap saja mengagumimu.

Friday, October 29, 2010

Heart Locker

When you wake up in the morning and found yourself locked on a maroon-painted room without door nor window, don't get panic.

You're just in my heart.

Monday, September 27, 2010

Ironi

"Kamu tahu, apa yang paling kusukai sekaligus kubenci di antara kita?"
"..."
"Ironi."

Karena dalam ironi, kita membangun dunia dalam mimpi-mimpi.
Karena dalam ironi, kita tertawa dalam tangis-tangis haru tanpa sebab.
Karena dalam ironi, kita berbagi harap dalam ketidakmungkinan yang kita utarakan.
Karena dalam ironi, kita mencuri peluk dan cium satu sama lain ketika kita saling marah dan membenci.
Karena dalam ironi, ada cinta terselip di saku bajumu, lipatan kerudungmu, lambaian tanganku.

"Aku tak bisa bilang rasa sayang ini sebuah cinta, atau cinta ini dipenuhi sayang untukmu. Yang kita perlu sekarang mungkin adalah kesempatan, baru kita tahu nanti tentang apa semua ini.." katamu; kataku.

Karena dalam ironi, kita tahu kita tidaklah nyata tapi kita terus mencoba...

Saturday, August 28, 2010

Surga Jatuh


Ini adalah cerita yang tak pernah kutahu semenjak aku menjadi sekumpulan bunga dan rerumputan di tengah gurun pasir yang terik, tandus dan gersang.

Perjalanan hidup kami tidak pernah panjang. Bahkan, sebagian besar takdir kami tidak bisa kami tentukan sendiri seperti manusia –dan aku bersyukur untuk itu. Kalian, manusia, selalu terlalu naïf ketika menyadari bahwa sebagian besar hidup kalian bisa ditentukan oleh tanganmu sendiri. Dan karena itu, ketika masih kecil kalian begitu tergesa-gesa ingin dewasa, terpesona oleh kehidupan kakak-kakak dan orang-orang dewasa di sekitar kalian. Tapi sebaliknya, ketika kalian sudah dewasa, kalian begitu ingin kembali menjadi seorang anak kecil tanpa beban yang akan sangat bahagia dengan sebatang cokelat dan segelas es krim di tangan –keduanya membuat muka kalian seperti badut karena memakannya sembarangan.

Kalian, manusia, hidup seperti kalian tidak akan pernah mati dan mati seperti kalian tidak pernah hidup.

Kami berbeda. Kami hanyalah sebongkah awan yang bahkan tidak pernah menikmati rasanya tumbuh di daerah asal ketika angin sudah menerpa dan mambawa kami jauh ke selatan.

Aku dibentuk di laut Mediterania, di daerah dengan iklim yang sejuk dan menawan. Tapi, aku hanya sempat menikmati keindahan kota-kota di ujung Laut Mediterania itu dari jauh, di ketinggian. Sudah menjadi takdir, bahwa awan-awan di Laut Mediterania harus terbawa angin ke selatan menuju benua Afrika –benua yang panas, agar kami dapat menurunkan hujan di sana, di gunung-gunung dan pepohonan yang indah. Takdir itu juga menjadi mimpi bagi kami, awan-awan muda, seperti cerita hembusan-hembusan paman angin pada kami.

Kami harus menempuh perjalanan jauh yang membosankan melewati bagian utara benua Afrika sebelum sampai ke bagian tengah yang katanya berisi hutan nan menawan. Dan kata teman-temanku, bagian yang paling membosankan adalah melewati Gurun Sahara! Gurun seperti laut, kata mereka, hanya saja berisi pasir dan sangat luas. Tidak ada yang menarik di sana, sekali lagi kata mereka.

Tapi seperti anak muda, aku dipenuhi oleh rasa penasaran. Aku memutuskan meninggalkan orang tua dan teman-temanku sejenak, untuk membuktikan kata-kata mereka tentang gurun : untuk menemukan dunia dengan perspektifku sendiri!

Tidak perlu berpamitan, aku akan bergabung lagi dengan mereka nanti, di Afrika tengah dimana gunung-gunung indah dan pepohonan berada. Aku hanya ingin tahu, dan segera menurunkan diri agar terlepas dari arak-arakan dan sapuan angin besar. Mencari tempat yang nyaman –tetap di ketinggian tentunya, dan lalu mengamati barisan gunung-gunung debu berwarna emas.

Mereka hampir semuanya benar : gurun terlihat sangat biasa dan tidak menarik, meski gurun itu sendiri tidak datar –banyak gunung-gunung pasir yang terbentuk oleh sapuan angin. Ah, apa itu? Ada sedikit cekungan di bawah sana, baru saja terbentuk oleh tiupan angin ringan. Dia diapit beberapa gunung pasir, dan cekungan itu seperti sedang tersenyum. Dia tersenyum padaku!

“Hai!” sapaku dengan sopan. “Bagaimana keadaan di bawah sana?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kita harus tahu keadaan seseorang dengan menanyakannya bukan? Bukan dengan pendapat pribadi kita tentang mereka?

“Oh, hai. Di sini baik-baik saja, dengan beberapa teman cekungan, gunung-gunung pasir, matahari yang terik, tiupan angin, dan beberapa karavan yang kadang lewat sini untuk berteduh di balik gunung pasir. Sering kali panas di sini, ketika matahari ada di atasku. Tapi itu masih bisa kutahan, apalagi ketika kalian bertengger di antaraku dan matahari. Aku berterima kasih untuk itu,”

Oh, betapa baiknya cekungan ini. Dia berterima kasih untuk hal yang biasa, yang sering kali tidak kami sadari telah melakukannya.

“Bagaimana keadaan di atas sana?” tanyanya, juga dengan rasa penasaran.

“Oh, di sini juga ada matahari dan angin, sama sepertimu. Yang sedikit menenangkan hanyalah aku bisa menempuh perjalanan melewati beberapa tempat,” sepertinya aku agak kasar dengan memamerkan kelebihan kami ini padanya. Hal yang tentu saja tak bisa mereka alami.

Tapi cekungan muda itu baik. Ia tetap tersenyum –mungkin kalau aku melihatnya dari sisi yang lain, ia akan terlihat sedang cemberut seperti seorang wanita yang menekuk wajahnya ketika sang kekasih lupa akan hari ulang tahunnya. Tapi memang begitu bukan, pilihan sudut pandang membuat kita sering kali melihat sesuatu dari tempat kita memandang, bukan dari cara sesuatu itu bekerja?

Kami meneruskan obrolan ringan tentang matahari, siang yang terik karena sinarnya, dan aku menceritakan bagaimana hidup di Mediterania, dimana udara di sana sangat sejuk dan bersahabat. Ia begitu menyimak cerita-ceritaku tentang tempat-tempat yang pernah kukunjungi –Ia belum pernah ke sana.

“Ceritamu begitu menarik, awan. Bagiku, hidup sangat singkat. Ketika angin berbalik arah nanti, aku akan hilang tanpa pernah tahu dunia yang lain,” dia sedikit meratapi takdirnya. Aku ikut bersedih untuk kesedihannya.

“Hidupku juga singkat, kataku. Segera ketika angin kencang berhembus, aku akan berjalan ke selatan, ke Afrika tengah tempat gunung-gunung dan pepohonan untuk berubah menjadi hujan,” kataku sedikit berusaha menenangkannya.

“Kau tahu, awan, di gurun yang luas ini kami menganggap hujan adalah surga?”

“Waw, aku tak pernah tahu aku bisa dianggap begitu indahnya.”

“Aku pernah mendengar beberapa cekungan tua bercerita bahwa setelah hujan, kami akan dipenuhi oleh bunga-bunga dan rerumputan. Tapi aku belum pernah melihatnya langsung, karena di gurun ini hujan sangat jarang terjadi.”

Ah, aku sangat senang dengan cerita cekungan. Betapa indahnya bahwa ia, mereka, sangat mengagumi kami. Dan melihatnya menceritakan tentang bunga-bunga dan rerumputan, yang kata teman-temanku sangat indah –mereka mendengar cerita tentang bunga yang indah itu dari angin dan orang-orang tua kami, aku sedikit merenung.

Aku bisa saja melihat bunga-bunga dan rerumputan di Afrika tengah seperti yang selama ini diimpikan oleh awan-awan muda sepertiku. Tapi itu akan terlihat sangat egois bagiku, dimana aku bisa menjadi bunga dan rerumputan itu di sini.

“Kalau kau mau, aku akan menjadi hujan untukmu,” kataku dengan bulat dan penuh senyum.

“Tapi kau akan mati untuk itu,”

“Aku takkan pernah mati untuk itu. Aku akan menjadi bunga dan rerumputan di bawah sana, di sampingmu. Lagipula, aku penasaran dengan surga yang kau bicarakan tadi.”

Ah, ya, aku belum pernah tahu bagaimana rasanya menjadi hujan. Dan, kuakui aku sedikit kesulitan dan kesakitan di awal. Ya, seperti kalian manusia meninggal, sakit rasanya merasakan bahwa kaki kita tiba-tiba tak lagi bisa digerakkan, seperti hilang. Terus dan terus, menjalar ke sekujur tubuh. Tapi seperti halnya manusia juga, ketika mereka sekarat, mereka melihat surga di matanya. Aku melihat bagaimana cekungan dan angin menari-nari ketika titik-titik hujan dari tubuh mungilku menyapu wajah mereka. Dan, ah bagaimana harus kujelaskan padamu, tentang pelangi yang tiba-tiba saja muncul dari balik gerimis tipis yang kuturunkan. Harus kuakui, aku melihat surga!

Ini adalah cerita yang tak pernah kutahui semenjak aku tidak lagi menjadi awan. Aku telah memenuhi cekungan gurun yang ramah itu dengan tubuhku –dengan cintaku! Sekarang aku adalah gurun itu sendiri, aku adalah embun yang terkandung dalam angin sepoi yang berhembus di gurun, dan aku adalah bunga-bunga dan rerumputan yang tumbuh keesokan harinya di cekungan gurun ini.

Dan keesokan harinya, keajaiban yang tak pernah terpikir oleh kami terjadi. Sekumpulan awan teman-temanku dulu, yang bermain kejar-kejaran di atas Laut Mediterania melihat cekungan gurun ini. Mereka melihatku –dengan wujud bunga dan rerumputan, melihat gunung-gunung pasir yang meninggi dan merasa bahwa mereka telah menemukan Afrika tengah yang diimpi-impikan. Maka mereka berbondong-bondong turun, dan menjadi hujan.

Surga telah turun lagi di tengah Sahara yang terik. Oase yang melegakan telah terbentuk di cekungan gurun nan ramah.

Friday, July 2, 2010

Dalam Kata-kata

Seperti pohon, cinta mungkin hanya selembar daun, setetes dua getah, sebatang ranting, seutas akar, atau mungkin setumpuk jerami usang. Dia menyokong hidup si pohon, tapi bukan berarti satu-satunya yang penting.

Kita jatuh cinta. Begitu saja. Seolah narasi cerita sedang terpusat pada kita berdua. Lalu seperti penulis yang mabuk dengan cerita yang ditulisnya, kita mengurai kata demi kata di barisan kisah cinta. Tapi kita tetap memberi spasi bagi tiap kata, sadar bahwa kedekatan hati dalam wujud tulisan dan cerita utuh lebih penting dari sekedar kedekatan fisik dalam kata-kata.

Lalu cerita kita terasa indah, tapi narasinya semakin sukar diterka. Melambung antara mentari dan hujan, kita melukis pelangi. Menari antara nada dan suara, kita mencipta melodi. Menyempil antara tangis dan tawa, kita menikmati kebersamaan.

Dan?

Dan lalu sampailah kita pada kejenuhan. Bukan, bukan karena kita saling bosan. Hanya saja, seperti yang kuibaratkan cinta pada pohon. Suatu saat kita merasa kata-kata kita tak lagi ceria dan bermakna. Hanya coretan-coretan. Tapi itu mungkin yang diperlukan, agar suatu saat kita bisa mengenangnya dengan kata-kata yang lebih beralur. Atau mungkin rasa kita tak lagi dapat diterka dari kata-kata, hingga kita melihat satu sama lain tak lagi memesona?

Saturday, May 1, 2010

when a smile feels like spell




This, is the moment when a smile cast me a spell..
And it lift me up from my own hell,
Unrestrained me from the jail..

Believe me, it's mystifying!
  • sketch and words, by me.

Friday, April 16, 2010

Kegilaan Waras

Kata orang, iri hati, dendam, dan rencana busuk selalu punya hubungan baik. Mereka seperti kakak beradik, seperti sahabat karib. Dan seperti hubungan yang intim itu, jika satu saja terlukai, maka yang lain akan membalaskan untuk lainnya.

Dan apakah kebenaran sejati itu bergantung pada kesungguhan atau banyaknya pendukung? Apakah status waras dan gila juga ditentukan oleh 'kata orang lain'?

Azrilbie, seorang penyihir kepercayaan Sulbamby, seorang raja yang terkenal akan kebijakannya di mata rakyat, kini harus menanggung beban dendam tak terperikan pada sang raja. Dendam kesumat yang mungkin tak sanggup ditanggung sebuah gunung; seperti halnya tanggung jawab atas dunia yang telah manusia ambil di awal penciptaannya, hal yang tak sanggup ditanggung sebuah gunung hingga gunung itu hancur berkeping-keping –tapi manusia sepertinya punya kesombongan yang teramat besar telah berani menerima tanggung jawab atas dunia itu.

Sulbamby telah memperingatkan Azrilbie untuk membatasi penggunaan kekuatannya itu, agar ia tidak membuat kekisruhan dengan mengadu domba penyihir-penyihir lain di kerajaan Dercidia. Sulbamby tahu keahlian lain yang sangat diandalkan Azrilbie : kepercayaan dirinya atas kekuatan sihir dan kemampuannya memutar balik keadaan untuk mencapai hal yang diinginkannya.

Keputusan Sulbamby untuk lebih memercayai Smulyndra akhir-akhir ini membuat Azrilbie merasa tersingkirkan. Dan dari sekian banyak bentuk siksaan bagi orang yang memunyai cinta berlimpah, adalah tersingkirkan dan tak dianggap keberadaannya, bukan?

Tidak ada negeri lain yang lebih Azrilbie cintai dari Dercidia. Ia dilahirkan di daerah Brandia, suku Dercidia yang terkenal akan binatang-binatang besar berkulit tebal dan sangat ditakuti amukannya : konon, di negeri nun jauh di timur sana, di mana hujan dapat berlangsung begitu lama hingga banjir dan air bah menenggelamkan istana-istana megah, dan lalu berganti musim kering hingga hampir seluruh danau tempat orang timur itu hanya berisi debu, hewan itu disebut gajah. Meskipun Brandia tak punya sejarah hebat atas kejayaan Dercidia, tapi menjadi salah satu orang kepercayaan Sulbamby tentu memberi sejarah sendiri atas Brandia.

Ketika kita mencintai sesuatu hingga terlalu berlimpah, sampai kita tak tahu lagi batas-batas kasih dan benci, penisbian sesederhana apapun bisa membuat kita membenci dan mendendam.

Dendam merenggut waktu dari kita. Mungkin kau tak percaya kawan, tapi cobalah lihat orang-orang yang hidupnya mendendam, bahwa hatinya dipenuhi dengan kabut-kabuttebal, hingga keriput-keriput menggantung di dahinya, kantung-kantung hitam mengelilingi matanya. Seolah Azrilbie hidup dengan akselerasi waktu beberapa kali lebih cepat ketimbang umurnya.

Tidak ada yang akan menyangka umurnya barulah kepala empat, jauh lebih muda ketimbang Sulbamby, sang raja. Perawakannya yang kecil –khas penyihir, dan tubuh yang kian membungkuk selaras dengan keriput-keriputnya membuat ia terlihat berumur tujuh atau delapan puluhan. Mungkin tubuhnya kian membungkuk menahan beban dendam yang semakin menggunung.

Tapi untuk pengalaman hidup sebagai penyihir, Azrilbie punya segudang, dan sangat sedikit penyihir lain di Dercidia yang mampu menandinginya. Tidak juga Smulyndra, sebenarnya. Penyihir perempuan muda adik seperguruannya itu, yang kini semakin tenar kemampuannya. Azrilbie punya lebih dari cukup kemampuan untuk menghabisi Smulyndra jika mereka berhadapan secara frontal. Tapi ia tak mau mengotori tangannya begitu saja. Masih banyak cara yang lebih akan membuatnya tersohor dan mampu menunjukkan kelasnya sebagai penyihir wahid di Dercidia.

Hal yang semakin membuat Azrilbie membenci Smulyndra mungkin adalah kemampuan Smulyndra untuk mengetahui rencana-rencananya lebih detil, dan kedekatannya dengan sang raja mampu menggagalkan beberapa rencana Azrilbie yang telah disusunnya serapi mungkin.

Dan yang membuat Azrilbie harus lebih elegan dalam menghabisi Smulyndra adalah ketidakinginannya sendiri untuk dikenang sebagai penyihir hitam –bagaimanapun, mengakhiri hidup dengan kutukan-kutukan adalah hal yang tidak ingin ia pilih.

Waktu mungkin menyembuhkan luka, tapi tidak dengan dendam. Ia justru hanya akan membuat dendam semakin berkesumat, membesar seperti tumor. Dan mungkin bagi beberapa orang yang mendendam, bergulirnya waktu memberi mereka kesempatan untuk meyusun rencana-rencana pembalasan dendam, member mereka keberanian melakukan hal-hal di luar kewajaran yang seharusnya bisa mereka lakukan.

Melawat ke negeri-negeri timur yang jauh, menjalin kerja sama dengan raja-raja mereka yang penuh dengan keserakahan –dan memanfaatkan mereka untuk mencari bunga-bunga langka yang beracun, yang mungkin hanya tumbuh di gunung yang letaknya di atas awan; atau membunuhi hewan-hewan ganas hanya untuk diambil darah otaknya; untuk membuat ramuan paling berbahaya di dunia mungkin adalah hal terkeji dan tergila yang pernah dilakukannya. Ia mengorbankan banyak prajurit negeri-negeri timur itu, setelah berhasil mengelabuhi raja-raja bodoh dan serakahnya, atau mengancam mereka dengan kutukan-kutukan hitam penyihir.

Belasan tahun ia relakan untuk ramuan itu : ramuan gila! Ya, ramuan yang akan membuat siapapun yang meminumnya menjadi gila. Dan ramuan itu, bukan hanya akan ia minumkan pada Sulbamby ataupun Smulyndra –mereka mungkin justru tak akan meminum ramuan itu karena mereka tahu apa yang disodorkan Azrilbie pasti bukan hal yang baik.

Ia punya rencana yang lain.

***

Azrilbie adalah sahabat karib yang hebat. Seorang penyihir yang sejak muda dulu selalu dipuji banyak penyihir senior Dercidia. Sulbamby sebenarnya tak pernah ingin menyingkirkannya, mengingat kemampuan sahabatnya ini sebenarnya lebih dari cukup untuk menunjang perbaikan di Dercidia. Tapi ambisi yang ada di matanyalah yang membuat Sulbamby memutuskan untuk mengurangi kepercayaannya pada Azrilbie. Lagi pula, kemunculan Smulyndra dengan kecerdasannya, semakin membuat Sulbamby berani mengurangi ketergantungannya pada Azrilbie.

Laporan-laporan beberapa pembesar lain tentang ketidakberesan Azrilbie sempat membuatnya bimbang. Tapi rakyatnya lebih penting ketimbang persahabatan gombal masa mudanya. Dia seorang raja, yang sudah sepatutnya mengutamakan rakyatnya bukan? Tapi ia tak pernah menyadari satu hal yang sangat berbahaya : dendam orang yang mencinta jauh lebih besar ketimbang dendam orang yang membenci!

Rakyat Dercidia minum dari danau-danau bertuah. Beberapa danau, bertuah untuk prajurit-prajurit, yang akan memberi mereka kekuatan dan keberanian lebih dalam menghadapi lawan di medan perang. Beberapa danau bertuah memberikan ketegaran pada istri-istri, agar mereka punya kerelaan melepas suami-suami mereka berperang. Beberapa lainnya punya tuah untuk anak-anak kecil Dercidia, memberi mereka imajinasi-imajinasi agar kelak mereka mampu menjadi orang-orang hebat Dercidia. Beberapa danau justru sudah ditinggalkan, karena tuah-tuahnya sekarang tidak terasa dan cenderung membodohkan.

Danau-danau yang makin diminati adalah danau-danau yang memberi rakyat tuah pengetahuan. Azrilbie ikut berperan membuat salah satu dari danau itu. Danau Onoe.

Sebagai salah satu orang yang berperan membuat danau itu, Azrilbie punya kuasa yang sangat besar atas Danau Onoe. Dan ramuan itu, akan dengan mudah ia cemarkan ke Danau Onoe itu. Dan juga beberapa danau lain, meski ia harus sangat berhati-hati dalam mencemarkannya. Berita buruknya adalah, ramuan itu telah ia campurkan pula pada minuman para anggota dewan kerajaan.

Singkat cerita, Danau Onoe telah ia cemari dengan ramuan gila itu. Dan tidak butuh waktu lama bagi Azrilbie untuk memanen hasilnya : keesokan harinya, banyak sekali warga Dercidia yang tiba-tiba menjadi gila. Begitu juga anggota-anggota dewan kerajaan, meskipun Sulbamby dan Smulyndra serta beberapa pembesar lain belum meminum air itu. Mungkin mereka justru tidak akan meminum air itu.

Tapi minum tidaknya Sulbamby, Smulyndra, dan pembesar-pembesar loyal itu tidak menjadi masalah buat Azrilbie. Perhitungannya telah sangat matang, dan itu justru akan membuat orang-orang itu meminta ramuannya langsung pada Azrilbie –ia yakin, mereka justru telah tahu bahwa penyebar wabah kegilaan itu adalah dirinya.

Sulbamby tahu, permainannya melawan Azrilbie sedang tidak memihak padanya. Sebagian besar rakyatnya telah menjadi gila, dan mereka yang waras sudah tidak mampu lagi menilai kewarasannya sendiri, sampai-sampai mereka merasa mereka juga telah menjadi gila.

Ketakutan akan kegilaan telah membuat mereka menjadi gila dengan sendirinya. Bukankah ketakutan akan sesuatu justru bisa membuat hal buruk terjadi begitu saja, karena tidak ada lagi keberanian kita untuk menghadapi ketakutan akan hal itu?

Sulbamby hendak memutuskan untuk menutup Danau Onoe, tapi itu pasti keputusan yang akan membuat ia dianggap gila, karena Danau Onoe punya tuah pengetahuan. Seorang raja yang melarang rakyatnya menengguk air pengetahuan pastilah raja yang bodoh atau gila, bukan?

Kini Sulbamby dan Smulyndra dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang waras di tengah rakyat yang sudah menjadi gila. Dan kewarasan mereka justru membuat mereka dianggap gila.

Mungkin satu-satunya cara agar mereka kembali waras di hadapan rakyatnya adalah dengan meminum air dari Danau Onoe, yang akan membuat mereka menjadi gila. Kegilaan akan membuat mereka dianggap waras.

Mungkin, suatu saat kita menjadi gila di tengah-tengah orang waras, atau justru menjadi waras di tengah-tengah orang gila tapi tetap dianggap gila. Mungkin juga kita tidak tahu tingkat kewaras-gilaan kita, karena kita hidup di tengah-tengah orang gila.


# Seorang pembicara terkenal diundang oleh komunitas nude. Ia bimbang, apakah akan memberi ceramah dengan memakai baju lengkap dan resmi, atau mengikuti tren komunitas itu dan memberi ceramah dengan telanjang. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan yang ke dua, dan betapa terkejutnya ia, ketika ia tampil tanpa busana di depan komunitas telanjang itu, ia mendapati hanya ia yang telanjang, karena komunitas itu telah memilih memakai pakaian lengkap dan resmi untuk menghormati si pembicara.

# Untuk raja, yang sepertinya masih waras, di tengah rakyatnya yang sepertinya semakin gila.

# Untuk penyihir jahat, yang merasa menang atas penggilaannya pada rakyat : Kau tak bisa mengklaim kemenanganmu, kecuali kau ikut menjadi gila!

Tuesday, January 5, 2010

Badai Matahari Aesop

Aesop

Aku, yang terbiasa hidup di belahan bumi tropis dengan panas yang menyengat tentu mulai tak tahan dengan dingin es. Gigiku, yang biasanya selalu ngilu ketika meminum air es, kini harus menghadapi dingin salju. Minus enam derajat di daratan Eropa ini, di musim dingin pertamaku. Air panas yang baru kutuang dari teko pun sampai tak terasa panasnya ketika kuseruput. Nafasku menderu, dengan uap putih yang bisa dilihat mata telanjang. Ini hanya terjadi ketika musim penghujan yang dingin di bumiku nun jauh di sana, di pagi buta sehabis fajar.

Delapan ratus meter menuju blok rumahku, dengan salju setebal lima sentimeter teronggok di tepi-tepi jalan. Aku merapatkan mantel musim dinginku. Televisi-televisi di etalase-etalase toko itu tiba-tiba mewartakan kemungkinan badai dalam waktu dekat. Delapan menit. Aku harus sudah sampai di rumah sebelum badai itu benar-benar datang. Aku berharap badai itu tak jadi melanda kota kecil ini.

Tapi terkadang Tuhan tak benar-benar mengabulkan semua permintaanmu bukan? Meskipun kau berbuat baik sebanyak apapun, Dia selalu akan mengujimu. Dan kau pikir, sebesar apa imanmu kalau sampai kau tak mau diuji, sedangkan rasul-rasul dan nabi-nabi saja mengalami hal-hal yang lebih berat?

Badai itu datang juga. Lima menit lebih cepat dari perkiraan. Seperti yang digambarkan di televisi-televisi dulu, ketika aku masih hidup di belahan bumi tropis itu, badai tak pernah sopan maupun rapi. Awalnya kukira aku bisa melawan arus badai ini. tapi kupikir, lebih baik aku menyingkir dari jalanan; menepi, dan lalu mampir ke sebuah toko kopi. Kebetulan aku sedang ingin bekerja sampai agak larut, dan secangkir kopi itu pasti mampu mengurangi kantukku.

Badai

Siapa yang pernah meminta untuk apa ia ditakdirkan ada? Babi mungkin akan memilih menjadi sapi sebelum ia dilahirkan; agar ia disukai daging dan susunya, tanpa kontroversi yang menempel di tiap gigitannya. Juga tak perlu berkotor-kotor. Sapi juga dipuja oleh sebagian agama. Tapi babi tetaplah babi, dan sapi tetaplah sapi. Dan badai, dengan semua perangai yang melekat padaku.

Wanita muda itu begitu menarik perhatianku. Dia kedinginan karena salju yang mulai menebal.

Tidak semua yang jahat selalu berniat jahat. Kadang mereka hanya jahat dalam satu sisi, mungkin beberapa bahkan hanya sekali, dan baik di sepanjang waktunya, tapi tetap dicap sebahai si jahat. Si jahat juga mungkin bisa jatuh cinta. Begitulah badai, aku, jatuh cinta pada wanita muda itu. Aesop namanya. Dan ia sedang kedinginan.

Sikap tidak pernah selamanya hanya dipengaruhi perangai. Aku tetap bisa mencinta. Hanya saja, ketika cara dan usahamu tak tepat, kasihmu akan terasa seperti pecut. Aku hanya ingin ia merasa lebih baik dan tidak kedinginan. Salju itu sepertinya tak terlalu tebal. Dan aku merasa aku bisa menyapunya dengan sekali dua tiupan. Mungkin ketika salju itu sudah kutiup, wanita muda bernama Aesop itu akan merasa lebih baik -belakangan aku tahu kalau ia terbiasa hidup di belahan bumi tropis. Dan kupikir ia bisa melepaskan mantel bulunya yang berat itu. Tubuhnya yang indah tak perlu lagi ditutupi dengan mantel bulu.

Tapi ia memilih mengeratkan mantelnya ketika ia kusapa dengan kasihku. Tiupan ringanku untuk menyapu salju rupanya justru membuat Aesop semakin kedinginan. Beberapa kali salju yang terlempar kutiup itu justru menerpanya.

Matahari

Sahabatku, badai, kutahui jatuh cinta pada wanita muda rupawan itu. Sebagai sahabatnya, aku pun harus menghormati perasaannya, meskipun wanita muda itu benar-benar memikatku juga. Maka aku memilih menutup diri di balik mendung. Membiarkan badai menyapa pujaan hatinya.

Tapi badai mundur. Kasihnya ditolak dengan telaknya. Sungguh tak berperasaannya wanita muda itu pikirku.

Aesop

Aku benci badai. Aku memilih mencintai matahari, karena ia tak pernah memaksaku melepaskan mantel bulu tebal ini. Badai, dengan kasihnya yang membabi buta, hanya berpikir dari satu arah : membahagiakanku dengan caranya, tanpa pernah ingin tahu mauku. Matahari mencurahkan kasihnya dengan lembut, mencairkan salju-salju dengan kehangatannya, bukan dengan tiupan-tiupan pengusiran badai.

Terkadang, bujukan jauh lebih kuat daripada paksaan paling berkuasa sekalipun.

Matahari

Aku terkejut ketika ia, wanita muda berparas rupawan itu, memilih mencintaiku. Pepatah manusia memang benar; 'cinta tak pernah punya kualifikasi tertentu'. Tapi seperti air, semakin kau menggenggamnya, semakin cepat pula air itu habis dari genggamanmu. Semakin kau renggangkan ciduk tanganmu, semakin cepat pula air itu bocor. Dan aku harus tetap menjaga kehangatanku agar tidak bersinar terlalu terik, atau wanita muda itu akan memilih awan sebagai cintanya; karena awanlah yang akan memayunginya nanti dari sengat terikku.

Manusia tetaplah manusia. Setinggi apapun imajinasi mereka dengan tulisan, gambar, lukisan, sketsa-sketsa, dan media lainnya, mereka akan tetap mendeskripsikan tentang manusia. Karena yang hanya mereka tahu dan paling mereka tak pernah tahu adalah tentang diri mereka sendiri.


Literatur : Aesop, Fabelis Yunani.