Ini adalah cerita yang tak pernah kutahu semenjak aku menjadi sekumpulan bunga dan rerumputan di tengah gurun pasir yang terik, tandus dan gersang.
Perjalanan hidup kami tidak pernah panjang. Bahkan, sebagian besar takdir kami tidak bisa kami tentukan sendiri seperti manusia –dan aku bersyukur untuk itu. Kalian, manusia, selalu terlalu naïf ketika menyadari bahwa sebagian besar hidup kalian bisa ditentukan oleh tanganmu sendiri. Dan karena itu, ketika masih kecil kalian begitu tergesa-gesa ingin dewasa, terpesona oleh kehidupan kakak-kakak dan orang-orang dewasa di sekitar kalian. Tapi sebaliknya, ketika kalian sudah dewasa, kalian begitu ingin kembali menjadi seorang anak kecil tanpa beban yang akan sangat bahagia dengan sebatang cokelat dan segelas es krim di tangan –keduanya membuat muka kalian seperti badut karena memakannya sembarangan.
Kalian, manusia, hidup seperti kalian tidak akan pernah mati dan mati seperti kalian tidak pernah hidup.
Kami berbeda. Kami hanyalah sebongkah awan yang bahkan tidak pernah menikmati rasanya tumbuh di daerah asal ketika angin sudah menerpa dan mambawa kami jauh ke selatan.
Aku dibentuk di laut Mediterania, di daerah dengan iklim yang sejuk dan menawan. Tapi, aku hanya sempat menikmati keindahan kota-kota di ujung Laut Mediterania itu dari jauh, di ketinggian. Sudah menjadi takdir, bahwa awan-awan di Laut Mediterania harus terbawa angin ke selatan menuju benua Afrika –benua yang panas, agar kami dapat menurunkan hujan di sana, di gunung-gunung dan pepohonan yang indah. Takdir itu juga menjadi mimpi bagi kami, awan-awan muda, seperti cerita hembusan-hembusan paman angin pada kami.
Kami harus menempuh perjalanan jauh yang membosankan melewati bagian utara benua Afrika sebelum sampai ke bagian tengah yang katanya berisi hutan nan menawan. Dan kata teman-temanku, bagian yang paling membosankan adalah melewati Gurun Sahara! Gurun seperti laut, kata mereka, hanya saja berisi pasir dan sangat luas. Tidak ada yang menarik di sana, sekali lagi kata mereka.
Tapi seperti anak muda, aku dipenuhi oleh rasa penasaran. Aku memutuskan meninggalkan orang tua dan teman-temanku sejenak, untuk membuktikan kata-kata mereka tentang gurun : untuk menemukan dunia dengan perspektifku sendiri!
Tidak perlu berpamitan, aku akan bergabung lagi dengan mereka nanti, di Afrika tengah dimana gunung-gunung indah dan pepohonan berada. Aku hanya ingin tahu, dan segera menurunkan diri agar terlepas dari arak-arakan dan sapuan angin besar. Mencari tempat yang nyaman –tetap di ketinggian tentunya, dan lalu mengamati barisan gunung-gunung debu berwarna emas.
Mereka hampir semuanya benar : gurun terlihat sangat biasa dan tidak menarik, meski gurun itu sendiri tidak datar –banyak gunung-gunung pasir yang terbentuk oleh sapuan angin. Ah, apa itu? Ada sedikit cekungan di bawah sana, baru saja terbentuk oleh tiupan angin ringan. Dia diapit beberapa gunung pasir, dan cekungan itu seperti sedang tersenyum. Dia tersenyum padaku!
“Hai!” sapaku dengan sopan. “Bagaimana keadaan di bawah sana?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kita harus tahu keadaan seseorang dengan menanyakannya bukan? Bukan dengan pendapat pribadi kita tentang mereka?
“Oh, hai. Di sini baik-baik saja, dengan beberapa teman cekungan, gunung-gunung pasir, matahari yang terik, tiupan angin, dan beberapa karavan yang kadang lewat sini untuk berteduh di balik gunung pasir. Sering kali panas di sini, ketika matahari ada di atasku. Tapi itu masih bisa kutahan, apalagi ketika kalian bertengger di antaraku dan matahari. Aku berterima kasih untuk itu,”
Oh, betapa baiknya cekungan ini. Dia berterima kasih untuk hal yang biasa, yang sering kali tidak kami sadari telah melakukannya.
“Bagaimana keadaan di atas sana?” tanyanya, juga dengan rasa penasaran.
“Oh, di sini juga ada matahari dan angin, sama sepertimu. Yang sedikit menenangkan hanyalah aku bisa menempuh perjalanan melewati beberapa tempat,” sepertinya aku agak kasar dengan memamerkan kelebihan kami ini padanya. Hal yang tentu saja tak bisa mereka alami.
Tapi cekungan muda itu baik. Ia tetap tersenyum –mungkin kalau aku melihatnya dari sisi yang lain, ia akan terlihat sedang cemberut seperti seorang wanita yang menekuk wajahnya ketika sang kekasih lupa akan hari ulang tahunnya. Tapi memang begitu bukan, pilihan sudut pandang membuat kita sering kali melihat sesuatu dari tempat kita memandang, bukan dari cara sesuatu itu bekerja?
Kami meneruskan obrolan ringan tentang matahari, siang yang terik karena sinarnya, dan aku menceritakan bagaimana hidup di Mediterania, dimana udara di sana sangat sejuk dan bersahabat. Ia begitu menyimak cerita-ceritaku tentang tempat-tempat yang pernah kukunjungi –Ia belum pernah ke sana.
“Ceritamu begitu menarik, awan. Bagiku, hidup sangat singkat. Ketika angin berbalik arah nanti, aku akan hilang tanpa pernah tahu dunia yang lain,” dia sedikit meratapi takdirnya. Aku ikut bersedih untuk kesedihannya.
“Hidupku juga singkat, kataku. Segera ketika angin kencang berhembus, aku akan berjalan ke selatan, ke Afrika tengah tempat gunung-gunung dan pepohonan untuk berubah menjadi hujan,” kataku sedikit berusaha menenangkannya.
“Kau tahu, awan, di gurun yang luas ini kami menganggap hujan adalah surga?”
“Waw, aku tak pernah tahu aku bisa dianggap begitu indahnya.”
“Aku pernah mendengar beberapa cekungan tua bercerita bahwa setelah hujan, kami akan dipenuhi oleh bunga-bunga dan rerumputan. Tapi aku belum pernah melihatnya langsung, karena di gurun ini hujan sangat jarang terjadi.”
Ah, aku sangat senang dengan cerita cekungan. Betapa indahnya bahwa ia, mereka, sangat mengagumi kami. Dan melihatnya menceritakan tentang bunga-bunga dan rerumputan, yang kata teman-temanku sangat indah –mereka mendengar cerita tentang bunga yang indah itu dari angin dan orang-orang tua kami, aku sedikit merenung.
Aku bisa saja melihat bunga-bunga dan rerumputan di Afrika tengah seperti yang selama ini diimpikan oleh awan-awan muda sepertiku. Tapi itu akan terlihat sangat egois bagiku, dimana aku bisa menjadi bunga dan rerumputan itu di sini.
“Kalau kau mau, aku akan menjadi hujan untukmu,” kataku dengan bulat dan penuh senyum.
“Tapi kau akan mati untuk itu,”
“Aku takkan pernah mati untuk itu. Aku akan menjadi bunga dan rerumputan di bawah sana, di sampingmu. Lagipula, aku penasaran dengan surga yang kau bicarakan tadi.”
Ah, ya, aku belum pernah tahu bagaimana rasanya menjadi hujan. Dan, kuakui aku sedikit kesulitan dan kesakitan di awal. Ya, seperti kalian manusia meninggal, sakit rasanya merasakan bahwa kaki kita tiba-tiba tak lagi bisa digerakkan, seperti hilang. Terus dan terus, menjalar ke sekujur tubuh. Tapi seperti halnya manusia juga, ketika mereka sekarat, mereka melihat surga di matanya. Aku melihat bagaimana cekungan dan angin menari-nari ketika titik-titik hujan dari tubuh mungilku menyapu wajah mereka. Dan, ah bagaimana harus kujelaskan padamu, tentang pelangi yang tiba-tiba saja muncul dari balik gerimis tipis yang kuturunkan. Harus kuakui, aku melihat surga!
Ini adalah cerita yang tak pernah kutahui semenjak aku tidak lagi menjadi awan. Aku telah memenuhi cekungan gurun yang ramah itu dengan tubuhku –dengan cintaku! Sekarang aku adalah gurun itu sendiri, aku adalah embun yang terkandung dalam angin sepoi yang berhembus di gurun, dan aku adalah bunga-bunga dan rerumputan yang tumbuh keesokan harinya di cekungan gurun ini.
Dan keesokan harinya, keajaiban yang tak pernah terpikir oleh kami terjadi. Sekumpulan awan teman-temanku dulu, yang bermain kejar-kejaran di atas Laut Mediterania melihat cekungan gurun ini. Mereka melihatku –dengan wujud bunga dan rerumputan, melihat gunung-gunung pasir yang meninggi dan merasa bahwa mereka telah menemukan Afrika tengah yang diimpi-impikan. Maka mereka berbondong-bondong turun, dan menjadi hujan.
Surga telah turun lagi di tengah Sahara yang terik. Oase yang melegakan telah terbentuk di cekungan gurun nan ramah.
- diikutsertakan di cerita eka agustus