Wednesday, September 16, 2009

Rebahan Hati

blablabla...
ba bi bu..
nye nye nye..

Saya rasa, dengan lebaran ini semua orang sudah mengikhlaskan kesalahan satu sama lain.

Jabat tangan;
Temu pandang;
Silang kata; dan
Pelukan hangat;
bukan lagi menjadi keharusan; melainkan hanya formalisasi ekspresi.

Teruntuk :
teman,
sahabat,
saudara,
handai taulan,
pacar,
gebetan,
mantan pacar,
saingan,
atasan,
bawahan,
guru,
murid,
rekan sekalian;
yang tak sempat dan atau tak mungkin ditemui, mari saling memaafkan, tanpa perlu permohonan resmi.

Ini masalah hati..


-Seulas senyum saya yang paliiiiiiiiiing manis buat kalian-

Wednesday, August 19, 2009

Selisik Hati

Menyelisik hatimu.
Adalah aku di sana.
Di ujung sepi, berpendar senoktah.
Dalam resah, dalam ragu.
Bilakah kamu memijar, tanyamu.

Menyelisik hatiku.
Adalah kamu di sana.
Di pusat hati, terangkai mimpi.
Dalam rindu, dalam bisu.
Bolehkah kamu kuandaikan, benakku.

Dalam temaram hatiku, hatimu.
Untuk diam, yang diam-diam kau idam-idamkan puisinya.

Thursday, July 30, 2009

Segitiga Kata-kata

-sambil melipat secarik puisi-

Untuk apa sastra, dengan buah-buah kata-kata indah, sajak-sajak berima, dan majas-majas tegas itu kau sembahkan untukku?
Toh itu tak mengenyangkanku, hanya membuat berangan-angan tentang kegombalanmu!
-dyra-
Tanyakan saja pada dirimu sendiri, untuk apa agama itu, dengan dalil-dalil nasykil, hadist-hadist filosofis, dan wahyu-wahyu Tuhanmu itu diturunkan?
Toh itu tak mengenyangkan kita, hanya membuat berangan-angan tentang surga-Nya!
-sastrawan gombal-
Aku benci semua filosofi bodohmu, tapi aku suka caramu mengungkapnya.
-pecinta ironi-

Tuesday, July 28, 2009

Bedtime Story

Aku ingat ketika dulu, ayahku membacakan cerita-cerita dan dongeng-dongeng aneh tiap malam, saat kami hendak tidur.

Tentang Centaur, yang ayah ceritakan dengan penuh takzim karena keperkasaannya, kerendahhatiannya, dan kepahlawanannya. Tentang Nabi-nabi, dengan segala mukjizat, kesabaran, kecerdasan, dan keimanannya yang diceritakan dengan doa-doa oleh ayah. Atau tentang Gajahmada, Ken Arok - Ken Dedes, Upasara Wulung -yang kujamin sangat sedikit yang tahu tentang dia, Werkudara dan tokoh pewayangan lainnya yang diceritakan ayah dengan runut. Belum lagi ketika beliau mengisahkan Sudirman, Diponegoro, Sukarno, Tjoet Njak Dhien, Natsir, kakek, dan kakek buyut : dengan mata menyala-nyala, semangat berkobar-kobar, dan tangan yang berulang kali mengepal. Dan yang seringkali-meski paling jarang ayah ceritakan- membuatku takzim dengan kesantunan, keironisan, metafora, dan majas-majas indah : tentang Chairil Anwar, Buya Hamka, Shakespeare.

Tapi tak pernah ayahku menceriterakan kepahlawanan yang seperti hari itu. Yang dikobarkan dengan doa-doa ketuhanan, keimanan, dan kenegaraan, tapi dipenuhi dengan kebencian dan kengerian : sebuah ledakan tak seberapa, tak lebih hebat dari bunyi petasan cengisan seharga seratus perak yang tiap bulan puasa kami nyalakan.

Aku, adalah seorang pahlawan.
Yang memerangi kejahatan : maka aku membunuh semua penjahat, para orang jahat.
Yang memerangi kemiskinan : dan kubinasakan semua orang miskin.
Yang memerangi kebiadaban : dengan menghabisi orang-orang biadab secara keji.
Yang memerangi kekafiran : lalu membunuh pafa kafir, seperti seorang iblis.
Yang memerangi kebodohan : menjadi malaikat maut - membunuh semua orang bodoh, termasuk dirinya sendiri.


Ode, untuk mereka yang menyebut dirinya pahlawan : dengan menghancurkan ekonomi bangsa, membungihanguskan harga diri negeri.

Tuesday, July 21, 2009

Bayanganku : Tuhan dan Hantu

Tuhan dan Hantu.
Mereka membayang.
Mana yang Tuhan, mana yang Hantu?
Hantu-kah Tuhanku, atau Tuhan-kah Hantuku?

Ketika apa yang menghantuiku lama-lama menjadi Tuhan dalam otakku, masuk ke tiap sel-sel bahkan tiap-tiap bagian terkecil darinya.
Benarkah yang kulakukan kalau begitu?
Nah, lalu apa patokan kebenarannya?

Dan ketika Tuhanku sendiri menghantuiku, menjadi pijakan tiap keputusanku : apakah itu juga benar?
Karena acap kali, aku memijak-Nya secara denotatif : menjadikan Dia pembenaran atas perbuatanku.
Bukankah pembenaran belum tentu turunan langsung dari kebenaran?

Merdekalah.
Toh Tuhan memberi kita akal bukan?
Dia menyuruh kita berpikir.
Bukan selalu meminta keputusan-Nya.
Dia meminta kita mandiri, kawan!
Yang Dia minta bukan kita meminta keputusannya : melainkan restu-Nya.
Merdekalah, dan Tuhan takkan hanya jadi bayanganmu...
:: Dapat tantangan menulis tentang bayangan dari diajeng satu ini. Mohon maaf agak melenceng.
:: Kadang, di antara dua pilihan atau lebih kita sering meragu. Kalau Tuhan maha tahu yang terbaik untuk kita, itu pasti. Selain karena Dia Yang Maha menentukan, juga karena Dia memberi kita petunjuk yang sering kita abaikan : Akal-otak dan Budi-hati.

Saturday, July 11, 2009

Painting On You




Hey, I'm painting on you dear. So please, stay still. And stop dancing there, right on my mind..

Wednesday, July 1, 2009

Sejajar

Mereka memberikan sebuah istilah khusus untuk kita. Dua garis yang berdampingan, teratur, bergerak seirama, dan berjarak konstan : Sejajar.

Kamu ingat sifat dua buah garis sejajar? Kedua garis itu takkan bertemu di ujung dan pangkalnya, meski di titik tak hingga!

Kalau ada sebuah masalah -garis lurus yang memotong kedua garis sejajar, maka sudut-sudut berseberangan kita akan membentuk sudut yang sama besar. Dan kedua sudut, yang dibelah oleh garis lurus itu akan saling menggenapi seratus delapan puluh derajat. Apapun kondisinya.

Dulu memang seperti itu. Kamu akan tertawa paling keras di tiap kemenangan-kemenanganku, dan bersedih dengan menangis terisak-isak di tiap kegagalanku.

Tapi Tuhan, Sang Penguasa Hidup, membatasi garis-ku-dan-mu dengan sebuah garis pembatas, bernama takdir.

Dan kamu pernah mengutuki keadaan untuk menyangkal kenyataan.

Tiga buah garis sejajar : garisku, garis takdir, dan garismu.
::-> untuk pengirim sms tiba-tiba petang tadi : akuilah sahabat, kita itu garis sejajar, bukan segitiga yang dipertemukan oleh garis takdir!

Wednesday, May 27, 2009

Tentang Ketika, yang Baru Dapat Kuartikan Kini

Kini aku meletakkan kamu di batas antara cinta dan benciku. Tipis, setipis mereka bilang. Tipis, semungil tubuhmu, R.


Aku mencintaimu dengan tidak kuanalogikan. Bukan seperti puisi chairil, gibran, dan maestro-maestro iblis sastra itu. Aku pernah mencintaimu apa adanya. Tidak harus kuanalogikan, dan memang tak bisa kuanalogikan seandainya pun kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Dan kita tak pernah membahasnya. Cukuplah kita saling tahu, bahwa kita saling mencinta.


Dan lalu aku membencimu. Untuk keputusanmu mengakhiri kita. Untuk keputusanmu menghentikan komunikasi kita. Untuk keputusasaanmu mengerti aku. Dan untuk sejuta alasan lain kalau kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Kamu hanya mengakhirinya, dan membuatku semakin mengumpulkan jutaan alasan lainnya untuk membencimu.


Untuk menghapus nomormu dari daftar nomor teleponku. Untuk menghapus lagu-lagu kesukaanmu dari daftar lagu yang kuputar tiap harinya. Untuk melupakan kalimat-kalimat kesukaanmu. Tapi nomormu terus kuingat meski tak pernah kuingat-ingat. Lagu-lagumu tak pernah bisa kuhapus dari playlistku, karena lagu-lagu itu juga lagu kesukaanku. Dan kalimat-kalimatmu itu terus menggema di telingaku. Dan itu semakin membuatku membencimu, R.


Waktu selalu memberikan kedinamisan. Dari sangat mencinta, sangat membenci, di antara keduanya dan menjadi batas antara benci dan cinta itu sendiri, dan mungkin suatu saat nanti menjadi tidak peduli sama sekali. Hilang dari diagram kartesius perasaanku. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bisa saja berbulan-bulan lagi lamanya. Ketika di tempat itu, tempat batas antara benci dan cintaku itu diisi oleh orang lain. Seorang, dua orang, tiga orang, atau beberapa orang mungkin nantinya, dengan alur dan plot yang sama berulang kali sampai nanti kutemukan orang yang tepat. Atau, mungkin orang yang tepat itu juga akan kembali padamu. Aku tak pernah tahu. Biarlah waktu yang nanti memberi hasilnya.


Aku tidak akan berusaha mencintaimu lagi, membencimu lebih dalam, atau melupakanmu. Biar saja semua berlalu sealami mungkin.


Aku bahkan tak ingat lagi kapan pastinya kita memutuskan untuk mengakhirinya. Suatu hari di bulan mei yang penuh kemungkinan ini pastinya…Dan tempat yang menjadi batas cinta dan benciku kini sudah berganti, R. Kamu telah tahu itu. Dan kamu mendukungnya. Dan itu membuatku semakin tak mengerti dirimu…

Wednesday, May 13, 2009

Menghujat

Kita hidup dalam paradoks yang selalu dibesar-besarkan secara hiperbolis oleh penyair-penyair laknat itu. Dalam kumparan labirin metafora. Dan para iblis-iblis sastra itu tentu lebih memilih memersonifikasikan hidupnya daripada menjalaninya dalam nyata.

Menipu pikiran dengan alegori-alegori yang tak pernah kita mengerti. Bukankah rencana yang baik itu selalu menyiapkan rencana dalam rencana bukan?

Tukang-tukang sihir dengan kalimat-kalimatnya yang sepertinya tak pernah habis itu pun selalu sok kuasa. Mentang-mentang mereka bisa -kalau boleh sedikit bersarkasme- meminjam sifat Tuhan barang sekejap di sekelumit cerita-ceritanya. Menipu pembaca dengan semua omong kosong sinismenya, dan baru memberi penjelasan denotatif di akhir kisahnya.

*Atau Tuhan juga memang sebenarnya seperti itu?*

Tidakkah yang benar itu harus kita inderakan?
Toh indera yang kita miliki tak selalu benar, bukan?

Or should I change my subject?

*Benarkah ada kebenaran yang benar-benar memang benar?*

Tuesday, May 5, 2009

Lampu Merah Imajiner

Di jalan lurus yang sepi, kau membuat lampu merah imajinermu.
Kau berjalan sendiri di jalan lurus, dengan vespa antik buatan negeri pizza itu.
Memandangi lembah dan bukit di ujung horison samping kiri dan kanan jalanmu.
Begitu nyamannya menikmati jalan, sampai-sampai kau takut perjalananmu itu selesai terlalu cepat.
Lalu kau membangun lampu merahmu sendiri.
Tepat di sisi kiri jalan ini, di lima meter selanjutnya, dan beberapa kali lagi.

Kau sendiri yang mengatur nyala lampu merahnya.
Sampai di lima meter terakhir, di lampu merah terakhir.
Kau tahu, ini lampu merah imajiner terakhirmu.
Kau pun berhenti.
Memandangi remot lampu imajinermu.
Jarimu terhenti tepat di atas tombol lampu hijau.

Menggantung.

Di satu sisi, kau ingin cepat sampai di tempat tujuanmu.
Di sisi lain koin pikiranmu, kau takut ketika sampai nanti, tak seindah yang kau bayangkan di perjalananmu.
Kau takut ambisimu tercapai, hanya karena takut hidupmu terhenti begitu ambisimu itu kau raih.
Kau takut, gairah hidupmu tak kan semenarik ketika kau berusaha mengejar tujuanmu..

Semua orang bebas bersikap.
Dan adalah hal yang tak pantas kalau kita hanya membenarkan sikap kita sendiri.
Kau mungkin benar, berhenti di langkah-langkah terakhirmu hanya karena tak ingin sensasinya hilang, atau mungkin takut karena rumah yang kau tuju itu sebenarnya memang sedang menunggu, tapi bukan dirimu.
Kau mungkin salah, karena hal yang kau tuju itu mungkin juga sedang menantimu melepaskan sendal jepit kesayanganmu itu, menjejakkan kakimu yang bau apek dengan segudang kapalnya di lantai berandanya.

Kini tinggal memutuskan ketakutanmu.
Takut yang mana yang akan lebih membunuhmu?
Toh, pilihan manapun akan membunuhmu.
Cepat maupun perlahan.
Dengan segala bentuk varian pilihan Si Pembuat Hidup itu sendiri.
Atau kau masih akan berkeras hati?
Berhenti di lampu merah imajinermu itu?

Terkadang kita membuat halangan untuk sikap kita sendiri.
Demi ketakutan kita akan keberhasilan.
Jadi, ketakutan mana yang akan lebih membunuhmu kawan, ketakutan akan kegagalan, atau ketakutan akan keberhasilan?

*Sampai sekarang Genta lebih memilih ketakutan akan keberhasilan, dan terus membangun lampu merah imajinernya.

Tuesday, January 27, 2009

Merah dan Biru

Begitu lekat di otak Biru, bagaimana gadis Merah itu merekah.
Memamerkan pipinya yang memang merah.
Bagaimana dengan lugasnya si gadis Merah menentukan arah.
Tentang cara si gadis Merah menghalau gundah.
Juga menyingkirkan resah.
Dan justru menggantinya dengan tawa renyah.
Merah, Meriah, Indah.

Biru, menderu.
Memacu diri bak peluru.
Hanya agar dirinya, dan hatinya tak terharu biru.
Memamerkan tawa baru agar tak terburu.
Bahwa hatinya sedang terluruh.
Pada gadis Merah yang dikenalnya baru.


Ah, Biru tak pernah berani menampilkan warna birunya di depan Merah.
Dia takut, Merah tak kan suka dengan Birunya.
Tak berani sampai sampai nanti sang Merah tercemar Birunya.
Biru yang tak membiru.

Hanya justru terus menyalahkan waktu.
Mengapa Merah tak kunjung memberi petunjuk?
Biru seperti apakah gerangan yang diinginkan sang Merah?
Atau Si gadis Merah ini tak menghendaki biru, dan menghasratkan warna lain?

Ah, tapi Biru akan tetap selamanya biru.
Tak bisanya dia menjadi Merah, untuk menyamai si gadis Merah merona itu.
Mungkin ia bisa saja menjadi Hijau, ketika ia bertemu kuning.
Namun, tentu saja, Hijau itu bukan Biru.

Dan benarkah Merah itulah yang diinginkan Biru?
Bukan Kuning? Hijau? Hitam? Ataupun Putih?

Si Biru hanya tahu satu hal :

Ungu, dia nantinya adalah Ungu itu sendiri, meski ia adalah paduan Merah dan Biru.

Biarlah si gadis Merah itu memerahkan diri, hingga menjadi seindah-indahnya Merah.
Dan Biru akan berusaha membiru, selayak-layaknya Biru untuk Merah yang indah itu.
Agar nanti, ketika saatnya tiba, ketika Merah itu mengatakan "iya", paduan Merah dan Biru itu kan menjadi Ungu yang paling indah.

Tapi sampai kapan Biru akan mendengar kata "iya" itu, kalau si Biru sendiri pun tak berani menanyakannya pada si gadis Merah?