Tuesday, January 5, 2010

Badai Matahari Aesop

Aesop

Aku, yang terbiasa hidup di belahan bumi tropis dengan panas yang menyengat tentu mulai tak tahan dengan dingin es. Gigiku, yang biasanya selalu ngilu ketika meminum air es, kini harus menghadapi dingin salju. Minus enam derajat di daratan Eropa ini, di musim dingin pertamaku. Air panas yang baru kutuang dari teko pun sampai tak terasa panasnya ketika kuseruput. Nafasku menderu, dengan uap putih yang bisa dilihat mata telanjang. Ini hanya terjadi ketika musim penghujan yang dingin di bumiku nun jauh di sana, di pagi buta sehabis fajar.

Delapan ratus meter menuju blok rumahku, dengan salju setebal lima sentimeter teronggok di tepi-tepi jalan. Aku merapatkan mantel musim dinginku. Televisi-televisi di etalase-etalase toko itu tiba-tiba mewartakan kemungkinan badai dalam waktu dekat. Delapan menit. Aku harus sudah sampai di rumah sebelum badai itu benar-benar datang. Aku berharap badai itu tak jadi melanda kota kecil ini.

Tapi terkadang Tuhan tak benar-benar mengabulkan semua permintaanmu bukan? Meskipun kau berbuat baik sebanyak apapun, Dia selalu akan mengujimu. Dan kau pikir, sebesar apa imanmu kalau sampai kau tak mau diuji, sedangkan rasul-rasul dan nabi-nabi saja mengalami hal-hal yang lebih berat?

Badai itu datang juga. Lima menit lebih cepat dari perkiraan. Seperti yang digambarkan di televisi-televisi dulu, ketika aku masih hidup di belahan bumi tropis itu, badai tak pernah sopan maupun rapi. Awalnya kukira aku bisa melawan arus badai ini. tapi kupikir, lebih baik aku menyingkir dari jalanan; menepi, dan lalu mampir ke sebuah toko kopi. Kebetulan aku sedang ingin bekerja sampai agak larut, dan secangkir kopi itu pasti mampu mengurangi kantukku.

Badai

Siapa yang pernah meminta untuk apa ia ditakdirkan ada? Babi mungkin akan memilih menjadi sapi sebelum ia dilahirkan; agar ia disukai daging dan susunya, tanpa kontroversi yang menempel di tiap gigitannya. Juga tak perlu berkotor-kotor. Sapi juga dipuja oleh sebagian agama. Tapi babi tetaplah babi, dan sapi tetaplah sapi. Dan badai, dengan semua perangai yang melekat padaku.

Wanita muda itu begitu menarik perhatianku. Dia kedinginan karena salju yang mulai menebal.

Tidak semua yang jahat selalu berniat jahat. Kadang mereka hanya jahat dalam satu sisi, mungkin beberapa bahkan hanya sekali, dan baik di sepanjang waktunya, tapi tetap dicap sebahai si jahat. Si jahat juga mungkin bisa jatuh cinta. Begitulah badai, aku, jatuh cinta pada wanita muda itu. Aesop namanya. Dan ia sedang kedinginan.

Sikap tidak pernah selamanya hanya dipengaruhi perangai. Aku tetap bisa mencinta. Hanya saja, ketika cara dan usahamu tak tepat, kasihmu akan terasa seperti pecut. Aku hanya ingin ia merasa lebih baik dan tidak kedinginan. Salju itu sepertinya tak terlalu tebal. Dan aku merasa aku bisa menyapunya dengan sekali dua tiupan. Mungkin ketika salju itu sudah kutiup, wanita muda bernama Aesop itu akan merasa lebih baik -belakangan aku tahu kalau ia terbiasa hidup di belahan bumi tropis. Dan kupikir ia bisa melepaskan mantel bulunya yang berat itu. Tubuhnya yang indah tak perlu lagi ditutupi dengan mantel bulu.

Tapi ia memilih mengeratkan mantelnya ketika ia kusapa dengan kasihku. Tiupan ringanku untuk menyapu salju rupanya justru membuat Aesop semakin kedinginan. Beberapa kali salju yang terlempar kutiup itu justru menerpanya.

Matahari

Sahabatku, badai, kutahui jatuh cinta pada wanita muda rupawan itu. Sebagai sahabatnya, aku pun harus menghormati perasaannya, meskipun wanita muda itu benar-benar memikatku juga. Maka aku memilih menutup diri di balik mendung. Membiarkan badai menyapa pujaan hatinya.

Tapi badai mundur. Kasihnya ditolak dengan telaknya. Sungguh tak berperasaannya wanita muda itu pikirku.

Aesop

Aku benci badai. Aku memilih mencintai matahari, karena ia tak pernah memaksaku melepaskan mantel bulu tebal ini. Badai, dengan kasihnya yang membabi buta, hanya berpikir dari satu arah : membahagiakanku dengan caranya, tanpa pernah ingin tahu mauku. Matahari mencurahkan kasihnya dengan lembut, mencairkan salju-salju dengan kehangatannya, bukan dengan tiupan-tiupan pengusiran badai.

Terkadang, bujukan jauh lebih kuat daripada paksaan paling berkuasa sekalipun.

Matahari

Aku terkejut ketika ia, wanita muda berparas rupawan itu, memilih mencintaiku. Pepatah manusia memang benar; 'cinta tak pernah punya kualifikasi tertentu'. Tapi seperti air, semakin kau menggenggamnya, semakin cepat pula air itu habis dari genggamanmu. Semakin kau renggangkan ciduk tanganmu, semakin cepat pula air itu bocor. Dan aku harus tetap menjaga kehangatanku agar tidak bersinar terlalu terik, atau wanita muda itu akan memilih awan sebagai cintanya; karena awanlah yang akan memayunginya nanti dari sengat terikku.

Manusia tetaplah manusia. Setinggi apapun imajinasi mereka dengan tulisan, gambar, lukisan, sketsa-sketsa, dan media lainnya, mereka akan tetap mendeskripsikan tentang manusia. Karena yang hanya mereka tahu dan paling mereka tak pernah tahu adalah tentang diri mereka sendiri.


Literatur : Aesop, Fabelis Yunani.