Tuesday, May 5, 2009

Lampu Merah Imajiner

Di jalan lurus yang sepi, kau membuat lampu merah imajinermu.
Kau berjalan sendiri di jalan lurus, dengan vespa antik buatan negeri pizza itu.
Memandangi lembah dan bukit di ujung horison samping kiri dan kanan jalanmu.
Begitu nyamannya menikmati jalan, sampai-sampai kau takut perjalananmu itu selesai terlalu cepat.
Lalu kau membangun lampu merahmu sendiri.
Tepat di sisi kiri jalan ini, di lima meter selanjutnya, dan beberapa kali lagi.

Kau sendiri yang mengatur nyala lampu merahnya.
Sampai di lima meter terakhir, di lampu merah terakhir.
Kau tahu, ini lampu merah imajiner terakhirmu.
Kau pun berhenti.
Memandangi remot lampu imajinermu.
Jarimu terhenti tepat di atas tombol lampu hijau.

Menggantung.

Di satu sisi, kau ingin cepat sampai di tempat tujuanmu.
Di sisi lain koin pikiranmu, kau takut ketika sampai nanti, tak seindah yang kau bayangkan di perjalananmu.
Kau takut ambisimu tercapai, hanya karena takut hidupmu terhenti begitu ambisimu itu kau raih.
Kau takut, gairah hidupmu tak kan semenarik ketika kau berusaha mengejar tujuanmu..

Semua orang bebas bersikap.
Dan adalah hal yang tak pantas kalau kita hanya membenarkan sikap kita sendiri.
Kau mungkin benar, berhenti di langkah-langkah terakhirmu hanya karena tak ingin sensasinya hilang, atau mungkin takut karena rumah yang kau tuju itu sebenarnya memang sedang menunggu, tapi bukan dirimu.
Kau mungkin salah, karena hal yang kau tuju itu mungkin juga sedang menantimu melepaskan sendal jepit kesayanganmu itu, menjejakkan kakimu yang bau apek dengan segudang kapalnya di lantai berandanya.

Kini tinggal memutuskan ketakutanmu.
Takut yang mana yang akan lebih membunuhmu?
Toh, pilihan manapun akan membunuhmu.
Cepat maupun perlahan.
Dengan segala bentuk varian pilihan Si Pembuat Hidup itu sendiri.
Atau kau masih akan berkeras hati?
Berhenti di lampu merah imajinermu itu?

Terkadang kita membuat halangan untuk sikap kita sendiri.
Demi ketakutan kita akan keberhasilan.
Jadi, ketakutan mana yang akan lebih membunuhmu kawan, ketakutan akan kegagalan, atau ketakutan akan keberhasilan?

*Sampai sekarang Genta lebih memilih ketakutan akan keberhasilan, dan terus membangun lampu merah imajinernya.

11 comments:

Unknown said...

Lampu merah imajiner, memang imajiner dan bukan realitas.. Semoga segera kau pencet lampu hijau imajinermu untuk lampu hijau sebenarnya.. haha..

otong said...

puisi mu meluluh lantakan kata yang ada dalam benak...

hehehe makin mantap aja nih

Anonymous said...

Jangan terlalu lama berhenti y

jengtika said...

lagi belajar mengenal warna-warni yak? :) lama gak ngintip kesinih hihihih...

bocahcilik said...

# kambing : wah, mulai deh sok filosofis. hhahaha.
# kang otong : weqeqeqe. emang ini kek puisi ya om?
# hanifarrul : wah, dilama-lamain aja lah, biar asik.
# mbak tika : wah wah wah...orang saya sendiri aja dah lama ndak nengokin blog ini. hihihi

Unknown said...

hajar sisan bleh, aja kesuwen...

bocahcilik said...

hajar apane kang?
dudut bin dudul..qeqeqe

Unknown said...

aku cuma takut akan kesombongan jika keberhasilan itu menghinggapiku.

bocahcilik™ said...

mungkin lebih pada kenyataan, kalau sensasi keberhasilah itu nantinya tak seperti yang diharapkan.
akan terasa sangat mengerikan bukan, terjatuh ketika kita terbang setinggi-tingginya?

Anonymous said...

imajinasi kadang2 juga menjadi inspirasi lo...

dia membuat kita tak merasa sepi walaupun ketika itu harus sendiri...

nadya said...

aku takut apa apa ya?

Post a Comment